Museum Nasional, Warisan, dan Saya

Museum bukan sekedar tempat menyimpan benda, tapi ruang di mana kita bersama-sama mengingat, memilih, membingkai, dan mewariskan cerita. Benda-benda di sana tak berbicara sendiri, mereka berbicara melalui pilihan-pilihan: dalam kebijakan, narasi, kurasi, program.

Penulis & Foto Sabila Duhita Drijono

waktu baca 4 menit
30/07/2025
120 views

Siang itu, di tahun 2019, saya pergi ke Museum Nasional bersama Ati – nenek saya. Beliau pasca-stroke: duduk di kursi roda, lumpuh sebagian, mata hampir buta, dan hari-harinya dipenuhi keresahan khas lansia setelah sakit menahun.

Kata ibu saya, “Ati dulu pernah kerja di Museum Nasional. Ajak saja ke sana, siapa tahu bisa buat dia senang.” Dan benar saja, meski kondisinya terbatas, beliau seperti bernapak tilas. Kami menyusuri museum pelan-pelan, dan dari kursinya, Ati mulai mengenang:

“Dulu Ati kerja di ruangan yang itu,” katanya menunjuk ke sudut gedung A, yang kini tinggal kenangan pasca-kebakaran.

“Ati dulu kurator etnografi. Tugas Ati mempelajari, mengurus koleksi, menjelaskan ke pengunjung.”
“Dulu di museum ini banyak lemari kabinet besar, barang-barang koleksinya disusun penuh, padat. Sekarang sepertinya tak sebanyak dulu ya.”
“Waktu Ati muda, banyak anak muda pacaran di sini. Terutama di ruangan dengan lemari-lemari besar itu.”

“Ati senang dan sedih. Senang karena bisa nostalgia, tapi sedih karena tulisan labelnya kecil-kecil dan ruangannya gelap sekali. Ati jadi susah menikmatinya.”

Priyanti Suryadarma (ujung kanan, duduk) dalam salah satu tugasnya sebagai kurator etnografi di Museum Nasional Indonesia, tahun tidak diketahui. Difoto oleh Sabila Duhita D, Museum Nasional Indonesia, 2025.

Momen itu begitu berkesan dalam ingatan saya – bukan hanya perjalanan ke museum itu sendiri, tapi juga kali pertama saya mengenal Ati sebagai sosok lain di luar perannya sebagai nenek: seorang kurator etnografi, berlatar belakang antropologi dan kajian wanita. Kini beliau sudah berpulang. Saya tidak sempat bertukar pikiran lebih dalam, atau benar-benar memahami apa saja yang pernah beliau kerjakan. Tapi menurut cerita ibu saya, di luar karier museumnya, Ati juga pernah cukup lama mengajar dan aktif di dunia kampus.

Kenangan bersama Ati bukan satu-satunya hal yang mengikat saya dengan museum. Dari kecil, saya diajak ke sana oleh kedua orangtua saya. Museum ini di mata saya kecil, seperti halnya taman bermain. Penuh arca dan ragam benda, yang meski sunyi dan kadang menyeramkan bagi anak-anak, justru menghidupkan imajinasi saya.

Seiring waktu, saya bertumbuh dengan dunia museum – jatuh cinta, kecewa, dan terus kembali. Saya dipertemukan dengan berbagai museum dan orang-orang yang membuka jalan saya kebidang ini. Menempuh studi magister di Inggris, mendalami museum education dengan beasiswa negara, kemudian pulang dan mulai bekerja lepas sebagai peneliti dan kurator tamu dalam berbagai proyek museum dan warisan budaya di Tanah Air.

Semakin lama saya menekuni bidang ini, semakin sering pula muncul pertanyaan yang lebih mendasar: Mengapa saya lahir sebagai orang Indonesia, melalui keluarga yang membentuk saya ke jalan ini? Dan ke mana saya akan melangkah ke depan?

Suatu waktu, perjalanan ini membawa saya kembali ke tempat yang sangat awal – Museum Nasional – tempat yang dulu saya kenal sebagai anak kecil dan kemudian saya dekati kembali sebagai profesional. Kali ini setelah saya dan Museum Nasional, dalam cara kami masing-masing, melewati proses pendewasaan. Seperti ditempa api lalu bangkit dari abu: ruang diperbarui, koleksi ditata ulang, administrasi berganti, pameran datang dan pergi. Di tengah dinamika itu, saya mendapat kepercayaan sebagai kurator tamu untuk ikut menyusun ulang sebagian ruang pamer – sebuah pengalaman yang mempertemukan kembali saya dengan warisan, kini dari sisi yang berbeda

Sabila Duhita Drijono sebagai bagian dari tim kurator pameran Repatriasi dan Pita Maha, 2024, menjelaskan lukisan karya I Made Djata kepada pengunjung. Fotografi oleh Dionisius Denizar, Museum Nasional Indonesia, 2024.

Tentu, pertanyaan-pertanyaan eksistensial tadi bukan milik saya seorang. Dalam skala yang lebih luas, saya rasa museum – sebagai wujud kolektif masyarakat bangsa – pun tengah menjawab pertanyaan yang serupa: Siapa kita, dari mana kita berasal, untuk siapa dan ke mana masa depan dibentuk?

Museum bukan sekedar tempat menyimpan benda, tapi ruang di mana kita bersama-sama mengingat, memilih, membingkai, dan mewariskan cerita. Benda-benda di sana tak berbicara sendiri, mereka berbicara melalui pilihan-pilihan: dalam kebijakan, narasi, kurasi, program. Maka warisan budaya bukan kebenaran tunggal, melainkan ruang tafsir – sebuah proses membaca ulang dari waktu ke waktu. Seperti anak yang tumbuh, lalu bertanya kembali pada ajaran-ajaran generasi sebelumnya: mana yang masih bermakna, mana yang perlu diperbaiki dan disesuaikan?

Menjadi bagian dari dunia permuseuman hari ini bukan sekadar merancang pameran, melainkan penjaga tanggung jawab warisan, sekaligus pembaca ulang sistem – dengan kesadaran penuh bahwa museum bukanlah entitas netral atau statis, melainkan medan pertempuran yang sunyi, penuh dengan negosiasi dan kontestasi. Dalam ruang itu, saya bukan satu-satunya suara, melainkan hanya satu dari sekian banyak yang ikut mewarnai bagaimana budaya Indonesia dibentuk dan didefinisikan ulang. Saya hanyalah satu bagian kecil dari kisah besar bernama Indonesia – yang isinya terdiri dari jutaan cerita dan ingatan lainnya.

Kadang saya bertanya juga: warisan apa sebenarnya yang saya bawakan? Siapa yang memberi saya kuasa untuk bicara atas nama sejarah, atas nama budaya, atas nama Indonesia? Saya tentu tidak punya semua jawabannya. Tapi saya tahu, menjadi insan permuseuman hari ini bukan tentang mengulang yang diwariskan begitu saja. Juga bukan tentang meruntuhkannya dan mengganti semuanya atas nama kebenaran baru dari pihak manapun.

Seperti museum yang terus dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit: tentang mendengar, menanggapi, dan memberi ruang. Memberi ruang pun mengandung beban – karena membawa warisan berarti juga memikul beratnya, meski tidak selalu dengan otoritas penuh. Terkadang, kita ingin membuat perubahan, tapi terbentur sistem lama. Terkadang, kita merasa didorong untuk bicara, namun sadar bahwa tidak semua hal bisa dinegosiasikan dengan mudah, karena belum tentu semua pihak datang dari pemahaman yang serupa. Bahkan ketika proses memahami posisi – baik pribadi maupun institusional – masih berlangsung dalam percakapan yang belum selesai.

Sabila Duhita Drijono bersama dengan neneknya, “Ati” (Priyanti Suryadarma-Pakan) dalam kunjungan ke Museum Nasional Indonesia, 2019.

Andai saya bisa berdialog lebih lama dengan Ati. Mungkin saya akan bilang: saya kini mencoba melanjutkan apa yang dulu ia rawat, dengan cara saya sendiri. Tapi juga mempertanyakan ulang, agar warisan itu tetap hidup dan bermakna di dunia yang terus berubah ini.

Warisan – entah datang dari keluarga maupun dari bangsa – seringkali bukan sesuatu yang kita pilih. Namun ketika ia hadir, kita bisa memilih bagaimana meresponnya. Menjadi penerima warisan bukan sekadar menerima, tetapi juga memikul tanggung jawab, yang sejatinya bukan hanya milik mereka yang memiliki kuasa dalam medan politik representasi budaya bangsa, melainkan tanggung jawab bersama. Untuk menjaga, memahami ulang, dan meneruskannya dengan cara masing-masing. Karena setiap ingatan – tak hanya milik saya dan Ati, tapi juga jutaan penduduk lainnya – pada akhirnya membentuk narasi besar yang kita sebut “Indonesia”.

Harapannya: ruang yang lebih terang dan cerita yang terus tumbuh, dengan segala lapisan tafsir dan tanggung jawabnya, bisa dibaca dengan jernih. Seperti harapan Ati yang hidup dalam batinku – dan untuk museum, bangsa, serta diri yang terus bertumbuh bersama: Tak selalu pasti, tapi senantiasa terbuka untuk mencari makna barunya.

Sabila Duhita Drijono, B.Soc.Sc., M.A.
Peneliti independen & profesional budaya lintas museum, arsip, dan narasi


Avatar Sabila Duhita Drijono

Sabila Duhita Drijono
Memory Worker

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Koleksi Dunia Pop Mart yang Tak Sekecil Figurnya

Latest from Seni