Kalau dengar kata Pop Mart, apa yang langsung terlintas di benakmu? Mungkin mainan lucu, kotak kecil penuh kejutan, atau deretan rak penuh figurin mungil berwajah imut. Tapi, siapa sangka, di balik wujudnya yang unyu dan ukurannya yang mini, Pop Mart justru menjelma jadi cerminan tren gaya hidup yang lagi hits, terutama di kalangan anak muda urban yang katanya sedang healing dari masa kecil yang “kurang peluk”.
Iya, kamu nggak salah baca. Di tengah arus tren fashion yang silih berganti, gaya hidup yang makin visual, dan dunia yang serba digital, Pop Mart muncul sebagai simbol baru dari inner child healing. Bentuknya boleh kecil, tapi perannya besar banget. Bayangkan saja, kamu lelah seharian bekerja, lalu membuka satu blind box dan mendapatkan karakter edisi langka. Rasanya? Campur aduk antara bahagia dan nostalgia.
Saya dan beberapa teman yang kebetulan suka traveling pun ikut terkena demam Pop Mart ini. Sejak tahun lalu, setiap kali jalan-jalan ke luar negeri, kami selalu menyempatkan diri mampir ke toko Pop Mart, entah buat beli, sekadar lihat-lihat, atau mengecek koleksi terbaru. Mulai dari Pop Mart store di Auckland, toko yang super clean dan artsy di Seoul, deretan figurin eksklusif di Tokyo, hingga gacha blind box yang langsung ludes di Bangkok. Makanya, kami senang bukan main saat Pop Mart akhirnya membuka gerai di Jakarta. Meski koleksinya masih terbatas, tapi tetap jadi pelipur lara setelah sekian lama cuma bisa intip dari layar.
Buat yang belum tahu, tren Pop Mart ini sebenarnya booming terlebih dahulu di Asia, terutama di Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan sejak 2016–2018. Di Tiongkok, Pop Mart bahkan punya status cult di kalangan anak muda urban. Namun, titik ledaknya baru terjadi setelah mereka IPO (Initial Public Offering) pada tahun 2020, yang disusul dengan ekspansi internasional yang makin masif. Pasarnya makin luas, tokonya makin banyak, dan karakter-karakter seperti Molly, Labubu, Dimoo, dan Skullpanda mulai muncul di mana-mana—termasuk di feed Instagram kamu.

Kerennya lagi, Pop Mart berhasil meledak di tengah industri mainan dan kolektor yang persaingannya ketat banget. Di saat banyak brand kelimpungan akibat digitalisasi, Pop Mart justru naik daun karena menggabungkan unsur kejutan, desain artistik, dan komunitas. Strategi mereka yang menjual ‘ketidakpastian’ lewat konsep blind box terbukti bikin ketagihan. Saking suksesnya, pendiri Pop Mart, Wang Ning, kini masuk daftar miliarder versi Forbes, berkat figurin-figurin kecil berkarakter besar ini.
Nah, kalau ngomongin viral, kamu mungkin pernah lihat Labubu, si monster kecil berbulu digantung di tas-tas mahal sekelas Hermès Birkin. Momen ini pecah banget pas Lisa BLACKPINK kepergok membawa Labubu di tasnya. Dan, boom! Seketika Labubu langsung jadi bintang utama. Sejak saat itu, Pop Mart bukan cuma urusan kolektor atau pecinta figurine, tapi sudah masuk ke lingkaran fashionista dan influencer kelas atas.
Tapi seperti tren viral lainnya, fenomena ini langsung membelah dua kubu di media sosial. Kubu pertama: para pecinta Labubu yang merasa karakter ini “quirky, edgy, dan super adorable”. Kubu kedua? Mereka yang bilang, “Ini apaan sih? Jelek banget, kayak boneka gagal.” Banyak yang nggak ngerti kenapa ada orang rela gantungin figurin kayak Labubu di tas branded harga ratusan juta. Tapi di situlah letak keseruannya, kontroversi estetik ini justru bikin Pop Mart makin relevan dan diperbincangkan.
Uniknya, nggak semua orang beli Pop Mart karena benar-benar suka karakternya. Ada juga yang ikut-ikutan karena tren. Istilahnya FOMO (Fear of Missing Out). Takut ketinggalan gaya. Ada yang suka karena desain dan kepribadian tiap karakter memang relatable dan ekspresif. Tapi ada juga yang beli hanya karena viral dan pengen tampil up-to-date. Sah-sah saja, kok, karena pada akhirnya, Pop Mart memang bermain di garis tipis antara barang koleksi dan simbol gaya hidup kekinian.
Oh ya, sampai sekarang belum ada gerai resmi Pop Mart di kawasan Timur Tengah. Nggak seperti di Korea, Jepang, atau Thailand yang punya toko fisik dan vending machine sendiri, para penggemar di Timur Tengah masih harus puas dengan opsi terbatas. Para hard-core collector biasanya mengandalkan pengiriman internasional, e-commerce regional seperti Pop Mart Asia, atau ‘jastip’ (jasa titip) dari teman yang bepergian ke Asia Timur. Tapi, semua opsi ini pun bukan tanpa risiko.
Karena belum ada jalur distribusi resmi yang kuat, harga blind box dari para reseller bisa melambung tinggi, apalagi untuk karakter yang tergolong langka. Bahkan banyak juga yang mengeluh terjebak beli produk palsu dari toko online yang sekilas tampak legit. Keluhannya pun beragam, mulai dari kualitas cetak karakter yang aneh, warna yang off-brand, sampai figurin yang bentuknya seperti produk “salah cetak”. Makanya, penting banget buat cek reputasi toko atau penjual sebelum checkout, apalagi kalau harganya mencurigakan murah.

Pop Mart ini bukan lagi soal uang atau koleksi semata. Banyak yang merasa, mengumpulkan Pop Mart itu seperti ngobrol diam-diam sama diri sendiri. “Lucu banget ya, aku dulu suka gambar karakter kayak gini di buku tulis, sekarang bisa punya bentuk nyatanya,” ujar seorang teman yang koleksinya sudah mencapai puluhan. Jadi, ada unsur self-soothing di dalamnya, bukan cuma hasrat memiliki benda.
Pada akhirnya, Pop Mart bukan sekadar mainan. Ini adalah cara baru anak muda menyentuh kembali masa lalu mereka yang penuh imajinasi. Dan siapa sangka, monster kecil Labubu bisa ikut naik jet pribadi dan nongkrong di samping tas Birkin? Membawa kepingan masa kecil ke dunia orang dewasa dengan cara yang lebih fun, estetik, dan penuh cerita.
Debora Simarmata, S.Ds
Fashion Enthusiast

Deb Simarmata
Beauty admirer and world wanderer