Menjelajahi Seni Berbagi Vincent Rumahloine

“Saya memilih menggunakan polaroid, mengambil gambar mereka dan mengobrol sambil menunggu gambar muncul pada lembar foto untuk kemudian diberikan kepada mereka sebagai hadiah.” ~ Vincent Rumahloine.

Penulis Sally Texania
Fotografi Dokumentasi Vincent Rumahloine & Aryasesa

waktu baca 4 menit
22/06/2025
369 views

Kata kunci ‘street’ di wilayah seni rupa kerap diasosiasikan langsung dengan graffiti yang dinilai sebagai bentuk pemberontakan, dibuat dalam waktu yang pendek sambil berpacu dengan pengawasan pemilik otoritas, menimbulkan kejutan, dan biasanya bersifat sementara. Namun demikian, menimbang bagaimana graffiti saat ini sudah begitu populer, terlalu sering dibicarakan, direduksi, atau dijinakkan, bagaimana kalau kita melihat praktik berkarya lain yang juga tumbuh di ‘jalanan’?

Menggunakan kamera Fujifilm Instax SQ 10, Potret diri Vincent Rumahloine dari Proyek “The Exchange”, Addis Ababa (2018).

Seniman Indonesia Vincent Rumahloine (l.1984) berkarya dengan keterlibatan komunitas lokal dan internasional dalam meramu proyek kesenian. Pendekatan yang kerap dikategorikan sebagai participatory art (seni partisipatoris) ini memungkinkan Vincent menjadi seorang kosmopolit yang meletakkan interaksi antarmanusia sebagai pusat kekaryaannya. Sally Texania (ST) berdiskusi dengan Vincent Rumahloine (VR) yang sedang bermukim di Amsterdam untuk mempersiapkan proyek terbarunya sebagai awardee Prince Claus Fund.

Pemahaman ‘Jalanan’ dan Perjalanan Fotografi

ST: Hai Vincent, bagaimana awalnya kamu memutuskan menggunakan fotografi sebagai jembatan dengan lingkungan yang baru? Pada awalnya, kenapa harus di jalanan? Bagaimana menurutmu posisi elemen ‘jalanan’ pada berbagai praktik seni rupa hari-hari ini?

VR: Kita mungkin bisa mulai dari pemahaman apa itu ‘jalanan’. Dalam kekaryaan saya, ‘jalanan’ itu dipahami sebagai ‘praktik’. Jalanan sendiri punya power yang bisa berpengaruh pada praktik kesenian mana pun sehingga memang pada perkembangan seni yang berbasis di jalanan, kita tidak hanya terbatas pada graffiti, meski itu yang populer.

Kalau dalam kekaryaan saya, penggunaan media fotografi dapat ditarik dari pengalaman masa kecil, di mana foto adalah alat yang mengabadikan momentum tertentu dan baru dapat dilihat beberapa bulan setelah hasilnya muncul. Sehingga, fotografi awalnya bukan perkara teknis, tapi bagaimana foto dapat mempreservasi ingatan.

Momen ini diambil menggunakan kamera Fujifilm Instax SQ 10, Pasar Merkato pada Proyek “The Exchange”, Addis Ababa (2018).

Kemudian di masa kuliah, saya masuk studi keramik dan belajar proses yang panjang dalam memproduksi karya seni rupa yang saya nikmati pula prosesnya. Tapi kemudian, saat masuk ke dunia kerja, memotret jadi salah satu pilihan praktis. Saya pun mulai mengenal proses fotografi dengan bekerja sebagai fotografer wedding yang mengasah saya kapan harus staging dan kapan harus menangkap momen dengan spontan. Saya juga sering mengunjungi pameran-pameran foto. Saya tidak begitu suka foto studio, lebih suka street photography karena memotret di jalan itu whether you make it or fail.

Selain fotografer wedding, saya juga bekerja sebagai guru seni rupa. Keduanya sudah saya pelajari polanya sampai satu titik saya putuskan mengambil turn yang lain, kembali ke keinginan menjadi seniman.

Dari Nol, Merajut Koneksi Lewat Lensa dan Kisah Jalanan

ST: Putaran yang jauh juga, ya. Bagaimana bisa masuk lagi ke wilayah seni rupa?

VR: Saat itu saya masih suka mengobrol dengan teman-teman seniman, tapi untuk menciptakan sendiri tentunya itu hal yang berbeda bagi saya yang sudah sekitar lima tahun tidak bekerja di wilayah seni rupa. Saya tidak punya kenalan galeri, tidak punya kenalan kurator, jadi bagaimana memulai semuanya from scratch? Fotografi saya nilai efektif; secara presentasi, foto bisa dipublikasikan lewat internet. Saat itu tahun 2015 di Bandung, sedikit sekali seniman yang memiliki situs portofolio, jadi ruang itulah yang saya pertimbangkan.

Kemudian, saya itu suka banget mengobrol di jalan. Permasalahan keterpinggiran itu menarik bagi saya, yang mungkin secara umum dikategorikan sebagai isu-isu grassroots. Tapi di luar terminologi itu, kesukaan mengobrol di jalan berakar dari masa kecil saya sebagai seorang berketurunan Ambon yang besar di Bandung—yang kadang saat keluar rumah, orang sekitar mengucap nama Vincent saja sulit. Akhirnya, setiap keluar dari rumah saya selalu mencoba mempelajari apa itu ‘Sunda’, dan ini ada sisi etnografinya. Hal ini juga semakin terasah saat saya terlibat di Rumah Cemara sebagai relawan, dan saya belajar berkomunikasi dengan komunitas yang beragam.

Saat saya berkeputusan membuat ‘residensi mandiri’ di Pulosari, fotografi dan pendekatan etnografi inilah yang muncul, yang ternyata juga erat dengan praktik street photography.

Menggeser Narasi ‘Kumuh’ dari Perspektif Barat

ST: Istilah-istilah ini beserta praktiknya, sering kita pahami melalui perspektif Barat. Dalam berbagai moda seni rupa, Asia ataupun Afrika sering dibingkai dari representasi lingkungan kumuh, atau istilah populernya slum porn. Bagaimana Vincent bersiasat dengan persepsi yang sudah ada tersebut?

VR: Siasat saya adalah dengan menggunakan cara pandang mereka (Barat); bagaimanapun, kita bekerja dengan sistem yang mereka bangun. Namun dalam prosesnya, saya kerap menemukan titiknya untuk meng-counter itu, menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Cara Barat melihat Asia-Afrika mungkin problematik karena savior syndrome—kita potret maka kita bantu. Semua niat baik itu betul, tapi mungkin jadi berantakan karena melihat definisi kumuh itu dari standar yang mereka (Barat) punya. Contoh lain: cara makan di lantai, tanpa meja, dengan tangan. Ini kan sebetulnya masalah kultur. Tapi kemudian, bangsa Barat melihat ini sebagai kebiasaan uncivilized, sehingga harus diperkenalkan meja makan dan sendok-garpu agar civilized. Jadi, yang bermasalah sudut pandangnya. Dalam konteks Indonesia, meski makan dengan tangan, kita punya Borobudur yang dari sisi arsitektur merupakan capaian civilization. Jadi, kita civilized in our own way, bukan?

Studio foto Vincent Rumahloine di Pulosari pada Proyek “Family Portrait”, Bandung (2015). Dokumentasi Aryasesa.

Saat saya membuat proyek family portrait di Pulosari, saya mencoba melihat ‘kumuh’ itu dalam konteks yang berbeda dengan cara saya pamerkan foto-foto itu di tempat mereka. Jadi, penting banget bagi saya untuk memindahkan agency. Kalau saya datang, ambil foto, kemudian dipamerkan di galeri, kan tidak ada perubahan agency-nya.

Seni yang keluar dari Galeri

ST: Wah, ini sudah masuk pertimbangan kuratorial, ya.

VR: Betul. Saya pindahkan ke sana karena bangunan galeri punya dua boundaries: physical dan psychological. Jika saya taruh foto-foto keluarga dalam rumah 5×5 di ruang galeri seni, apa respons yang akan muncul? Rasa kasihan? Kekumuhan dan penderitaan itu muncul. Saya tidak mau begitu.

Jadi, (foto) saya ambil keluar dan letakkan di lapangan. Menariknya, warga punya input lain yang kadang berdasarkan hal sederhana yang saya tidak pikirkan. Misalnya: Foto Keluarga A, diletakkan di dinding B yang akan mereka lewati setiap mereka pergi kerja. Jadi, begitulah agency saya pindahkan kepada warga. Gang Pulosari, yang punya stereotype negatif, jadi homey. Step by step-nya warga terlibat. Itulah pentingnya street, saat kita tahu kenyataan tidak sesuai dengan stereotype.

Sally Texania S.Sn., M.Si.
Kurator Independen

Selanjutnya, obrolan Sally Texania dan Vincent Rumahloine makin seru merambah cerita berkarya di Ethiopia dan semangat seni berbaginya di tengah komunitas! Jangan lewatkan keseruannya, simak obrolan lengkapnya dengan mengunduh Nawala Vokal di tautan berikut ini:


Avatar Sally Texania

Sally Texania
Art translator and story builder

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Previous Story

Belajar Tenis, Pelan-pelan tapi Pasti

Next Story

Kisah Chandra Naya yang Menjaga Warisan di antara Beton Modern