Cerbung Vokal

Bagian 1

Penulis Arnellis

Gambar Khayla Tsabita Shifwa & Kimiko Athaya Sani

waktu baca 3 menit
Oleh
16/06/2025
101 views
Keceriaan anak akan lingkungan rumahnya, meski di mata orang dewasa suasana padat dan hiruk-pikuk mendominasi. Digambar oleh Khayla & diwarnai oleh Kimiko, Tangerang Selatan, 2025.
Keceriaan anak akan lingkungan rumahnya, meski di mata orang dewasa suasana padat dan hiruk-pikuk mendominasi. Digambar oleh Khayla & diwarnai oleh Kimiko, Tangerang Selatan, 2025.


Bagian 1: JALAN

Sudah empat kali bulan bulat di langit sejak aku tinggal di rumah dalam gang itu. Gang rumahku kecil, meski bisa dilalui dua sepeda motor yang harus saling berhimpit betul agar tidak jatuh ke selokan. Pernah suatu kali aku terjebak di tepian gang saat pertemuan dua mesin besi semacam itu terjadi. Hampir saja aku tertabrak, tapi untung aku bisa berkelit cepat. Tapi rupanya kakiku kurang mencengkeram aspal jalan itu sehingga jatuhlah aku ke selokan. Badanku kuyup dan bau, tapi ibu segera datang dan buru-buru mengangkatku.

Ibu memang sangat peduli pada kebersihan. Tak dibiarkannya aku bebas naik kasur setelah berlarian di tanah lapang dan pulang membawa debu di badan. Ibu pasti akan mengelapku, atau memandikanku dengan iringan keluhan. Rumah kami yang tiga petak itu selalu dipel dengan teliti. Mainan yang selalu riang kutendang-tangkap lalu berceceran akan dibuatnya rapi pasti.

Ibu selalu mengajakku keluar gang kecil ini setiap pagi. Tentu saja aku senang dengan kebiasaan ini. Ibu tidak akan menggendongku. Jadi aku bisa bebas berlari sambil mengendusi udara beraneka aroma yang keluar dari pintu-pintu rumah tiga petak yang serupa dengan rumahku. Sebagian besar pintu-pintu itu terbuka lebar, jadi aku bisa menghidu bau nasi tanak atau minyak berkali-kali masak.

Aspal gang kecil ini akan menyatu dengan jalan besar di ujung. Tentang aspal ini, aku pernah dengar celoteh tetangga sebelah pintu rumahku. Ia bilang aspal itu adalah hadiah dari bapak yang wajahnya ada di gambar di ujung jalan besar. Aku tak tahu siapa dia. Yang aku tahu, di ujung jalan besar, ada warung ibu sayur, tempat aku dan ibu biasa menghentikan langkah.

“Bu, bayem cakep-cakep amat ini?”

“Iya laaah… kayak yang jual!”

Dan tawa semua orang di lapak itu berderai.

Aku suka kalau ibu berlama-lama di warung itu. Biasanya usai ibu memilih sayur, lauk, dan ikan khusus untukku, ibu akan duduk di bangku kayu sebelah meja sayur. Aku akan mengikuti ibu ke sana, dan bermain di dekat kakinya.

Setelah itu ibu pasti akan berkata, “Bude, biasa, komplit pakai sirih.” Dan bude berkebaya yang dimaksud akan mengantar segelas minuman di gelas kecil yang baunya tidak kusuka. Kalau sudah selesai menenggak minuman itu, ibu akan mengembalikan gelas dan memberi kertas uang. Bude itu akan berterima kasih dan menambahkan, “sehat-sehat, Buk.”

Jalan besar itu selalu ramai di pagi hari. Motor-motor berseliweran, tapi kebanyakan mengarah ke jalan yang lebih besar lagi di ujung yang paling ujung. Aku belum pernah ke jalan paling ujung itu, tentu aku tidak dibolehkan ibu. Lagipula kata Bang Leo, dia pernah mengatakan ini kepadaku dan anak-anak kecil lain, di jalan besar sering melintas raksasa besi yang lebih besar dari mobil. Kendaraan manusia itu bisa dengan mudah menggilas dan membuat remuk kepala kami makhluk kecil yang lemah ini. Maka aku pun menurut, aku akan tetap dekat-dekat ibu saja.

Ibu sedang asyik mengunyah lontong, sambil mendengar ibu sayur bercerita harga-harga barang yang mulai tak tertolong. Aku sih sudah kenyang. Tadi sebelum berangkat sudah makan nasi tongkol, sampai tandas isi piringku tadi. Sekarang aku ingin bermain dengan Lulu dan Mimi, tapi entah kenapa mereka tidak terlihat. 

Sibuk aku dengan tali yang menjulur keluar dari karung plastik. Begitu asyik aku menarik-narik, sampai aku tidak tahu apa yang terjadi saat ibu tiba-tiba berteriak, “Ehh, Leo!”

Bang Leo melompat panik dari jalan aspal dan berlari cepat ke arahku. Orang-orang seperti tidak memperhatikan dia. Mereka berkerumun mendatangi dua buah motor tanpa suara yang dikendarai dua anak kecil dan satu motor besi yang dibawa ibu-ibu. Ketiga motor itu tergeletak ambruk. Beberapa orang membantu mengangkat motor-motor itu agar kembali berdiri. Sebuah mobil berhenti juga sebab terhambat jalannya. Aku sendiri memerhatikan itu semua dari atas rak yang tadi kupanjat. Bang Leo duduk waspada di bawah.

“Lagian bocah ngebut amat pake sepeda listrik.”

“Kok kagak pada masuk sekolah?”

“Si ibunya juga sih, kagak ngerem di belokan.”

Orang-orang ramai berkumpul di jalan. Satu anak yang tadi jatuh kini menangis, mungkin baru sadar kakinya terluka. Satu temannya diam dan bingung tidak tahu harus bagaimana. Satu ibu tadi terlihat kusut wajahnya, sudah berdiri dan jalannya sedikit pincang. Matanya memandangi bungkusan plastik bawaan yang kini berceceran.

Satu bapak mengangguk setelah diajak bicara lelaki di dalam mobil yang berhenti. Si bapak lalu berteriak mengatur, mendorong motor yang tadi jatuh ke pinggir jalan. Kini semuanya berkumpul di depan warung ibu sayur yang bingung apa yang bisa ia tolong. Bang Leo buru-buru bersembunyi di bawah kursi bambu reyot milik ibu lontong. 

Ketika itulah mata bulatku bertemu dengan mata itu. Sosok itu berdiri di balik pagar kusam, tersembunyi taman penuh semak. Aku tahu di balik pagar itu ada rumah besar, seperti yang bisa kulihat sekarang dari ketinggian. Tapi tak pernah aku mengunjunginya. Aku dan ibu selalu mengambil jalan di sisi seberangnya. 

Jantung kecilku berdebar cepat. Aku mulai bergerak pelan, mulai turun perlahan. Aku ingin sekali menyeberang jalan. Aku ingin berlari ke arah pemilik mata kecil itu yang air matanya menggenang.  (bersambung)

 Tentang Penulis Cerbung
Arnellis, S.Hum, M.Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Tangerang Selatan


Avatar Arnellis

Arnellis
Penyuka belajar bahasa dan sastra Indonesia

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Banyak pilihan jam tangan bekas dan vintage di Dubai Flea Market. Beberapa item ditawarkan lengkap dengan sertifikat, garansi, bahkan servis langsung di tempat. Dubai, 2025.
Previous Story

Di Balik Gemerlap Dubai: Tren Pasar Loak & Hidup yang Berkelanjutan

Next Story

Belajar Tenis, Pelan-pelan tapi Pasti