Belajar Tenis, Pelan-pelan tapi Pasti

Tenis ternyata bukan cuma soal fisik. Tenis ngajarin gue untuk fokus, sabar, dan berdamai sama diri sendiri.

Penulis & Media Tika Savitri Pandanwangi

waktu baca 2 menit
16/06/2025
509 views

Gue mulai main tenis bukan karena ambisi jadi jago atau ikut tren. Jujur aja, ketika pandemi, gue sering banget lihat temen-temen main, dan cuma bisa mikir, “Wow, keren juga ya.” Sama sekali nggak kepikiran buat ikutan belajar. Salah satu trigger justru datang setelah bokap gue meninggal, hampir setahun lalu. Gue cuma lagi nyari cara buat tetap merasa terhubung sama kenangan beliau. Dulu gue cuma jadi cheerleader bokap di pinggir lapangan dan penonton setia pemain tenis profesional, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Nggak pernah kepikiran buat belajar beneran — ya, kepikiran sih… tapi gue mikir, kayaknya udah telat banget buat mulai di usia akhir 30-an. Haha.

Gue pikir tenis itu tinggal mukul bola bolak-balik, paling tinggal diatur kenceng-nggaknya pukulan. You know… how hard could it be, right? Forehandbackhand, lari kejar bola, kelihatannya gampang banget dari TV. Gue pertama kali coba main pas tinggal di Canberra, Australia, cuma mukul-mukul santai aja sama suami. 

Ekspektasi vs. Realita

Sempat vakum, dan baru mulai serius lagi sekitar dua bulan lalu. Gue ikut sesi coaching beneran buat pemula. Dan ya ampun! Ekspektasi gue langsung terpatahkan. Masuk lapangan berharap bisa gaya kayak Serena Williams, tapi kenyataannya? Tangan kaku, grip salah, pukulan ke mana-mana, bahkan kadang raketnya nggak kena bola sama sekali. 

Namanya juga manusia, sawang sinawang. Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Mulai iri lihat orang di lapangan sebelah yang pukulannya selalu masuk, bunyinya merdu, postur badannya pas. Sementara gue? Masih struggling banget. The struggle is real.

Ternyata, belajar tenis nggak semudah itu. Latihan seminggu sekali ya progress-nya juga pelan. Tapi setiap kali latihan, gue selalu bilang ke diri sendiri: “Gue udah lebih baik dari minggu lalu.” Supaya semangatnya nggak padam. Lucunya, makin belajar teori, makin bingung sendiri. Bukannya makin bener, malah makin salah grip dan pukulan-nya.

Menemukan Ritme

Akhirnya gue mulai evaluasi: kenapa stuck? Apa yang harus diubah? Gue coba pindah-pindah tempat latihan, ganti pelatih, cari suasana yang beda. Ada yang cocok di grup, ada juga yang lebih nyaman private. Sampai akhirnya nemu satu klub dan pelatih yang cocok banget. Di situ, gue ngerasa mulai ada kemajuan yang jelas.

Gue belum jago, masih jauh. Masih sering salah postur, salah teknik, tapi ada sesuatu yang bikin gue terus balik ke lapangan. Karena tenis ternyata bukan cuma soal fisik. Tenis ngajarin gue untuk fokus, sabar, dan berdamai sama diri sendiri. Mulai dari kesadaran tubuh—posisi kaki, ayunan tangan, rotasi pinggul—sampai soal mental: tetap tenang, tetap hadir, tetap jalan walau pelan.

Nyobain main tenis di musim dingin, Canberra, Australia, Juni 2024.

Tenis ngajarin gue jadi versi diri gue yang lebih baik. Gue belajar sabar, belajar ikhlas, belajar nerima kalau proses itu nggak selalu instan. Di kepala gue sih, gue udah juara Grand Slam. Tapi kenyataannya? Gue masih belajar untuk bisa pukul bola lima kali berturut-turut aja dulu, bisa balikin bola backhand dari pelatih dan bisa serve sampai ke seberang lapangan. It’s a journey. It takes grit, grind, and persistence—but also joy. Joy in the small wins. Joy in progress.

Coba Aja Dulu!

Buat kalian yang pengin coba tenis tapi ragu: coba aja. Mungkin cocok, mungkin juga nggak, dan itu nggak masalah. Yang penting, lo nyoba. Apapun olahraga yang lo pilih, kalau lo tekuni dan nikmati prosesnya, lo pasti akan sampai di titik di mana lo bisa bilang, “Eh, ternyata gue bisa juga ya.”

Gue pribadi dedikasikan perjalanan ini buat bokap tercinta—my constant inspiration on and off the courtAnd of course, for the love of the game itself.

Gue pernah baca di media sosial: “Coco Gauff says during the match, the audience was chanting her opponent’s name, and it was getting to her, so she blocked them out and started saying her own name and cheering for herself.”

Tika Savitri Pandanwangi, S.Si., M.Si.
Humanitarian worker

You know what? Dia benar. Kadang, kita memang harus jadi orang yang menyemangati diri sendiri dan berani mencoba. Apa sih yang paling buruk bisa terjadi? Kegagalan? Yah, coba lagi aja!


Avatar Tika Savitri Pandanwangi

Tika Savitri Pandanwangi
Humanitarian worker powered by caffeine and cat cuddles.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Keceriaan anak akan lingkungan rumahnya, meski di mata orang dewasa suasana padat dan hiruk-pikuk mendominasi. Digambar oleh Khayla & diwarnai oleh Kimiko, Tangerang Selatan, 2025.
Previous Story

Cerbung Vokal

Next Story

Menjelajahi Seni Berbagi Vincent Rumahloine

Latest from Gaya Hidup